Minggu, 04 Juni 2023

Kamis, 02 Agustus 2012

Aku hanya ingin shalat


Salim, nama anak itu. Rumahnya di dekat masjid. Hampir setiap hari ia selalu bermain di halaman masjid yang memang lumayan luas. Sebenarnya umurnya jauh lebih tua dariku, mungkin saat ini sudah menginjak 25 tahun, namun ia tidak tumbuh layaknya pemuda normal. Kelainan mental yang dideritanya sejak bayi membuatnya masih seperti anak kecil.

Malangnya, nama Salim sering dipakai ibu-ibu untuk menakuti anak-anaknya yang bandel. Padahal sampai saat ini tak pernah ada seorangpun yang disakitinya. Setiap pagi Salim membantu Jidan, pemuda penjaga masjid, untuk memunguti daun-daun yang gugur di halaman, tak jarang pula ia ikut membuang sampah itu ketempat pembuangan di samping masjid. Seperti dua orang sahabat, Jidan selalu bahagia dibantu olehnya, meski tak banyak yang bisa ia kerjakan.

Ketika selesai dengan tugas mereka, Jidan menghidangkan teh panas dan beberapa gorengan untuk sarapan mereka berdua. Tak ada kata malu, jijik atau apalah dalam hati Jidan ketika sarapan bersamanya. Dengan tulus Jidan menyayanginya, tanpa melihat keadaan fisik Salim. "Dia makhluk Allah, Wi. Dan bukan keinginannya untuk berada dalam kondisi itu." katanya suatu hari ketika kutanya tentang sikapnya yang agak "berbeda" dengan orang lain.

Saat hari beranjak siang, Jidan bersiap-siap ke kampus, sementara Salim telah pulang karena dipanggil ibunya untuk mandi. Selesai mandi, ia pun kembali datang ke masjid, mendapati Jidan tidak ada, tampak kecewa dari raut wajahnya. Dan dia pun kembali bermain dengan kesunyiannya di teras masjid.

Adakalanya dia diusir oleh jamaah, mereka tak ingin masjid kotor, karena Salim tidak menggunakan sandal. Jika itu terjadi, Jidan pun memanggilnya agar ia masuk lewat belakang saja.

"Aku heran, mengapa orang harus mengusir Salim dari teras masjid ini, toh dia hanya duduk di situ, tidak menginjakkan kakinya ke masjid." katanya suatu hari padaku usai seseorang mengusir Salim.
"Jidan, mereka takut Salim masuk dengan kaki yang kotor." kataku.
"Wi, ini rumah Allah, setiap manusia berhak untuk memasukinya, tak peduli apakah itu kita atau Salim, masjid ini takkan pernah kotor dihadapan Allah, karena dimasuki oleh orang yang membersihkannya, tapi justru kan terkotori dengan sikap kita yang mencemooh makhluk ciptaanNya, lagi pula kita tak pernah tau, apakah kita lebih baik dihadapan Allah ketimbang Salim 'kan??? Mungkin kita malah jauh lebih hina." katanya padaku.

Ya, aku rasa dia benar, mungkin dalam sebulan aku hanya sekali memunguti sampah-sampah di halaman masjid ini, ketika ada kerja bakti remaja masjid, tapi Salim....... Ya Allah maafkanlah aku yang tak pernah menghargainya, maafkan aku Salim.

***

"Bunda, Wia pergi dulu ya!!!" kataku seraya mencium tangan bunda.
"Mau kemana, Wi?" tanya bunda.
"Wia mau ke masjid, ada beberapa ketikan yang belum Wia selesaikan untuk Buletin Ummat." jawabku.
"Tapi pulangnya jangan terlalu malam ya, Wi." sahut bunda.
"Iya bunda, lagipula kan ada mas Raffi, nanti kita pulang bareng deh." kataku mengingatkan bunda kalau disana juga ada kakakku.
"Iya, tapi bilang juga sama mas mu, pulangnya jangan malam-malam, besokkan masih harus kuliah." timpal bunda.
"Iya, bunda sayang, udah ya bunda, assalamu'alaikum." ucapku sambil ke luar rumah menuju mesjid.
"Wa'alaikumussalam." jawab bunda pelan.

***

"Uh, bahannya masih kurang akurat, nih." kataku seraya menyodorkan beberapa kertas ulasan berita pada Fatimah.
"Apanya yang kurang akurat dek?" mas Raffi mulai sebel padaku, yang dari tadi sewot dengan berita-berita yang ia sodorkan.
"Iya dong, masa' jumlah korban, dan kerugian yang diakibatkan penyerangan sepihak AS terhadap Fallujah nggak ada." protesku.
"Ya ampun dek, namanya juga nyari berita di internet, iya gitulah keadaannya......". kakakku balas menjawab.
"Iya Wi, apalagi media penyiaran 'kan didominasi sama AS dan Yahudi, nggak bisa lagi, nyari yang bener-bener akurat, sekarang hanya gimana kita bisa menginformasikan apa yang terjadi di Fallujah kepada jamaah di sini." timpal Jidan. "Iya deh, kalau emang gitu." kataku menyerah, Fatimah dan beberapa teman redaktur lainnya hanya tersenyum melihatku yang masih agak sewot. Akhwat yang satu ini emang terkenal tenang, nggak seperti aku yang suka nyerocos.

"Yup, akhirnya selesai juga, tinggal diterbitkan dan semuanya beres." ujarku. Mas Raffi, Jidan dan Fatimah senyum-senyum melihat tingkahku.
"Dasar!!! paling cepet marahnya, eh paling cepet juga senengnya." ujar mas Raffi seraya memencet hidungku.
"Biarin." jawabku sekenanya.
"Udah yuk, kita pulang sekarang." ajak Fatimah.
"Iya, besok Wia ada ulangan, yuk mas." kutarik tangan mas Raffi keluar dari sekretariat remaja masjid. Kami bersama-sama berjalan di teras masjid yang beberapa lampunya telah dipadamkan oleh Jidan, ia pun ikut mengantar kami pulang sampai ke pintu depan.

"Eh, tumben ya! Udah malam begini masih ada yang shalat." ujar Yesi sambil menunjuk ke dalam masjid.
"Mana, Yes?" ucapku.
"Eh iya." sambung mas Raffi. Dalam keremangan cahaya kulihat sosok gempal sedang berdiri tegak dengan tangan yang dilipat kedepan. Tapi Yesi benar, tumben ada orang yang masih shalat malam-malam begini, kulirik jam tangan ku, 09.50 malam. Penasaran kami memperhatikannya, apalagi gerakan shalatnya terlihat aneh dimataku, dan...???

Ow ow... semua terperangah, hanya Jidan yang tersenyum tipis.

Subhanallah... Itu kan Salim. Semua terpesona melihatnya. Ada getaran aneh yang memasuki relung hati kami. Terlintas betapa egoisnya kami yang selama ini menganggap ibadah dan Islam hanya milik orang yang sehat jasmani dan rohani. Malam ini telah Allah tunjukkan bahwa Salim juga salah satu pemegang panji perjuangan Islam, paling tidak dia salah seorang yang telah menegakkan tiang agama.

Tak terasa dia pun selesai dan kaget mendapati kami sedang memperhatikannya. Dia tersenyum, mulai menggerakkan bibir dan tangannya, menunjuk ke arah tempat wudhu, entah apa artinya.

"Katanya, kakiku tidak kotor, aku sudah mecucinya dan berwudhu, aku hanya ingin shalat." ujar Jidan menterjemahkan. Dia mengangguk dan tersenyum.

"Iya, kamu boleh shalat kok, kapan aja." ujar Chika menahan haru.

Ya Allah... Aku menangis, terasa sesak dadaku mengingat keegoisanku dan semua orang padanya. Bukankah dia hanya ingin shalat??? Dan bukankah dia juga bagian dari kita disini???

Oh Salim, teruslah shalat, dan teruslah tegakkan tiang agama ini, karena orang yang normal belum tentu melakukannya. Benar kata Jidan, kita belum tentu lebih baik darinya.

Malam itu kami semua pulang dengan berjuta perasaan, ada haru, ada malu, dan pasti ada rasa syukur, karena Allah memberikan kami Salim yang senantiasa dapat memotivasi kami untuk lebih baik dihadapan sang Khalik. Alhamdulillah...

Kamis, 19 Juli 2012

Dari gembala ke manajer


Dalam tradisi keluarga terhormat Arab masa itu, bayi tidak disusui sendiri oleh Sang Ibu. Ia diserahkan pada orang lain yang menjadi Ibu susu. Demikian pula Muhammad. Beberapa hari, ia disusui oleh Tsuaiba -budak paman Muhammad, Abu Lahab, yang juga tengah menyusui Hamzah -paman lainnya yang seusia Muhammad. Kemudian ia diserahkan pada Halimah, perempuan miskin dari Bani Saad yang mencari pekerjaan sebagai Ibu susu.

Semula Halimah menolak Muhammad. Ia menginginkan bayi yang bukan seorang yatim, dan keluarganya sanggup membayar lebih mahal. Tak ada bayi lain yang bisa disusui, Halimah pun membawa Muhammad ke kampungnya. Suasana perkampungan Bani Saad disebut lebih baik bagi pertumbuhan anak dibanding 'kota' Mekah. Udara di sana disebut lebih bersih, bahasa Arab-nya pun lebih asli. Di masa bersama Halimah itulah tersiar kisah mengenai Muhammad kecil.

Menurut kisah itu, Halimah menjumpai Muhammad dalam keadaan pucat. Disebutkan bahwa Muhammad baru didatangi dua orang -yang diyakini banyak kalangan sebagai malaikat. Orang tersebut kemudian membelah dada Muhammad. Banyak orang percaya, itu adalah proses malaikat "mencuci hati Muhammad'' sehingga bersih.

Pada usia lima tahun, Muhammad dikembalikan ke Mekah. Konon Halimah khawatir atas keselamatan Muhammad. Dalam perjalanan ke Mekah, Muhammad sempat terpisah dari Halimah dan tersesat sebelum ditemukan secara tak sengaja oleh orang yang kemudian mengantarkan ke rumah Abdul Muthalib. Saat Muhammad berusia enam tahun, Aminah sang ibu membawanya ke Madinah menengok keluarga dan makam Abdullah, sang ayah. Mereka ditemani budak Abdullah, Ummu Aiman, menempuh jarak sekitar 600 km bersama kafilah dagang yang menuju Syam.

Saat pulang, setiba di Abwa -37 km dari Madinah-Aminah jatuh sakit dan meninggal. Muhammad pun yatim piatu. Ia dipelihara Abdul Muthalib. Namun, sang kakek juga meninggal saat Muhammad berusia 8 tahun. Muhammad lalu tinggal di rumah Abu Thalib -anak bungsu Abdul Muthalib yang hidup miskin. Kehidupan sehari-hari Muhammad adalah menggembala kambing. Pada usia 12 tahun, Muhammad diajak pamannya berdagang ke Syam.

Terkisahkan, dalam perjalanan itu Abu Thalib bertemu pendeta Nasrani bernama Buhaira di Bushra. Sang pendeta memberi tahu bahwa Muhammad bakal menjadi Nabi besar. Maka, ia menyarankan Abu Thalib segera membawa pulang Muhammad agar tidak celaka olah ulah orang-orang yang tak suka. Perjalanan ke negeri asing untuk berbisnis pada usia semuda itu tentu memberi kesan kuat pada Muhammad.

Berkat ketulusan dan kelurusan hatinya, Muhammad remaja mendapat sebutan Al-Amien, "yang dapat dipercaya", dari orang-orang Mekah. Ia juga disebut-sebut terhindar dari berbagai bentuk kemaksiatan yang acap timbul dari pesta. Setiap kali hendak menyaksikan pesta bersama kawan-kawannya, Muhammad selalu tertidur. Sedangkan ketajaman intelektual serta nuraninya terasah melalui hobinya mendengarkan para penyair.

Pada bulan-bulan suci, di beberapa tempat di dekat Mekah, selalu muncul pasar. Terutama di Ukaz yang berada di antara Thaif dan Nakhla, serta di Majanna dan Dzul-Majaz. Di hari pasar, para penyair membacakan sajak-sajaknya. Sebagian penyair itu beragama Nasrani maupun Yahudi. Mereka umumnya mengeritik bangsa Arab yang menyembah berhala. Peristiwa tersebut menambah sikap kritis Muhammad atas perilaku masyarakatnya.

Persoalan pasar di Ukaz itu menyeret Muhammad pada realita manusia: perang. Berawal dari pelanggaran kesepakatan sistem dagang yang dilakukan Barradz bin Qais dari kabilah Kinana yang memicu pelanggaran serupa 'Urwa bin 'Uthba dari kabilah Hawazin. Barradz lalu membunuh 'Urwa di bulan suci yang diharamkan terjadi pertumpahan darah. Kabilah Hawazin lalu mengangkat senjata terhadap kabilah Kinana. Karena kekerabatan, kaum Quraish seperti Muhammad membela kabilah Kinana.

Selama empat tahun, pertempuran berlangsung pada hari-hari tertentu setiap tahun. Itu terjadi saat Muhammad berusia sekitar 16 hingga 20 tahun. Disebutkan pula, di pertempuran itu Muhammad hanya bertugas mengumpulkan anak panah lawan. Ada juga yang menyebut dia pernah memanah lawan. Perang Fijar itu pun berakhir dengan kesepakatan damai.

Satu peristiwa penting yang jarang dikisahkan adalah bergabungnya Muhammad pada Gerakan Hilfil Fudzul. Sebuah gerakan untuk memberantas kesewenangan di masyarakat dan melindungi yang teraniaya. Peristiwa itu terpicu oleh perampasan barang milik pedagang asing yang tiba di Mekah oleh Wail bin Ash. Zubair bin Abdul Muthalib mengajak keluarga Hasyim, Zuhra dan Taym untuk menegakkan kembali kehormatan kota Mekah. Mereka berikrar di rumah Abdullah bin Jud'an untuk membentuk gerakan tersebut. Pada usia 20-an tahun, Muhammad aktif dalam Hilfil Fudzul itu. Ia ikut menyelamatkan gadis dari Bani Khais'am yang diculik Nabih bin Hajaj dan kawan-kawan.

Kematangan Muhammad semakin tumbuh seiring dengan meningkatnya usia. Saat Muhammad berusia 25 tahun, Abu Thalib melihat peluang usaha bagi keponakannya. Ia tahu pengusaha terkaya di Mekah saat itu, Khadijah, tengah mencari manajer bagi tim ekspedisi bisnisnya ke Syam. Khadijah menawarkan gaji berupa dua ekor unta muda bagi manajer itu. Atas sepersetujuan Muhammad, Abu Thalib menemui Khadijah meminta pekerjaan tersebut buat keponakannya itu serta minta gaji dinaikkan menjadi empat ekor unta. Khadijah setuju.

Untuk pertama kalinya Muhammad memimpin kafilah, atau misi dagang, menyusuri jalur perdagangan utama Yaman - Syam melalui Madyan, Wadil Qura dan banyak tempat lain yang pernah ditempuhnya saat kecil. Di kafilah itu Muhammad dibantu oleh perempuan budak Khadijah, Maisarah. Bisnis tersebut sukses besar. Dikabarkan tim dagang Muhammad meraup keuntungan yang belum pernah mampu diraih misi-misi dagang sebelumnya. Dalam perjalanannya tersebut, ia juga banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain. Termasuk para pendeta Yahudi maupun Nasrani yang terus mengajarkan keesaan Allah. Muhammad juga semakin memahami konstalasi politik global, termasuk menyangkut dominasi Romawi serta perlawanan Persia.

Khadijah terkesan atas keberhasilan Muhammad. Laporan Maisarah memperkuat kesan tersebut. Maka, benih cinta pun perlahan bersemi di hati pengusaha terkaya di Mekah yang hidup menjanda itu.